Sekolah Tinggi VS Penghasilan Tinggi

0 Comments
Sekolah Tinggi VS Penghasilan Tinggi

Saya Delyanti, lulusan S1 Pendidikan Matematika di perguruan tinggi swasta kota Medan, S2 PEP dari perguruan tinggi di Kota Semarang. Saat ini, alhamdulillah dapat beasiswa S3 di Jogja. Saya bekerja sebagai dosen di salah satu kampus swasta di Kota Medan. Sesekali diminta jasanya untuk membantu olah data. Penghasilan tidak pernah lebih dari 4 juta per bulan. Bahkan kadang kurang dari 3 juta kalau masa liburan kuliah. Tapi saya tidak pernah menyesal, meski ada profesi lain yang memiliki penghasilan lebih dari penghasilan saya. Saya gak pernah iri juga dengan mereka yang memiliki penghasilan 2-3 digit.
Gak apa, jalan hidup mah masing-masing.
Tapi, saya juga gak pernah membanggakan pendidikan saya kepada orang lain. Gak juga malu dengan pendidikan ini saya tidak berpenghasilan tinggi yang bisa dihasilkan oleh orang-orang yang pendidikannya tidak seperti saya.
Gak apa, pilihan orang mah masing-masing.
Ada yang lulusan SD jadi menteri, bahkan profesor-profesor harus nurut sama kebijakannya.
Ada yang lulusan SMP, usahanya mencapai omset 30 juta, bahkan terus berkembang.
Ada yang lulusan S3, bahkan masih bekerja sebagai tukang ketik di salah satu instansi negara dan merasa puas dengan penghasilan sedikit diatas UMR.
Ada.
Gak apa.
Orang kan beda-beda happy nya.
Yang gak boleh, kita selalu saja merasa lebih dari orang lain. Kita jadikan standar kita untuk orang lain, atau kita jadikan standar orang lain untuk kita.
Ngapain? Gak capek?
Ada orang yang happy belajar, sekolah tinggi-tinggi. Berpenghasilan kecil dimata orang lain, gak masalah. Dia cuma cari happy, dan bersyukur dengan apa yang ia hasilkan.
Kalau orang lain gak seperti itu, ya gak apa. Kan gak harus sama.
Ada juga orang yang happy berwirausaha, berlatih dari pengalaman dan menghasilkan rejeki yang berlimpah. Gak mau sekolah tinggi. Gak apa.
Yang gak boleh, kita judge orang yang sekolah tinggi tapi gak menghasilkan. Yang gak boleh kita judge orang yang pendidikannya gak setinggi kita, padahal usahanya lancar. Gak boleh itu.
Yang penting itu, sedikit atau banyak...Allah ridho dengan pekerjaan dan rejeki yang kita hasilkan. Dua tanda bahwa Allah berkahi pekerjaan dan rejeki kita, adalah:
1. Semakin mudah kita beribadah kepada Allah.
2. Ada banyak orang yang merasakan manfaat dari pekerjaan dan rejeki kita.
Kalau 2 hal itu gak kita dapat, mau pendidikan setinggi langit, atau penghasilam sebesar gunung pun tak akan guna.

Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

0 Comments
Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19
Sumber: www.google.com


Allah itu, tahu sekali cara menguji hambaNya. Bagi saya, pandemi Covid-19 ini ujian yang cukup berat. Memulai pendidikan doktoral setelah 6 tahun tidak bergelut dengan kuliah sudah cukup berat bagi saya. Belum lagi suasana dan kultur belajar yang berbeda, membuat saya harus mengerahkan effort yang lebih dari biasanya. Qadarullah, wabah Covid-19 tiba juga di Indonesia. Kampus diliburkan, perkuliahan dilakukan secara online. Boom! Belajar secara luring saja saya harus tertatih-tatih, apalagi belajar daring. Tapi, semua tetap harus dijalani dengan lapang dada.

Hal-hal yang saya khawatirkan terjadi. Kuliah tidak maksimal, mengumpulkan tugas seadanya, ilmu yang didapat juga minim. Sejujurnya saya ingin menyerah di semester kemarin. Tapi, entah itu pilihan yang baik atau buruk, entahlah. Hanya saja, saya merasa tidak bisa melewati pendidikan saya dengan 'terpaksa', dengan pengetahuan yang seadanya, bahkan minim. Akan menjadi lulusan seperti apa saya jika saya tidak mampu menjadi expert pada bidang saya? Sungguh, saya ingin menyerah. Alih-alih maksimal dalam pelajaran, saya masih sibuk menata hati, pikiran dan mental untuk menerima keadaan ini. Keadaan bahwa kuliah harus online, materi diberikan seadanya, kesulitan untuk mencari referensi, bertahan di rumah dengan sumber referensi seadanya. Saya sibuk menjaga ketahanan psikologis saya.


Semester belalu, kabar buruk tak berhenti. Semester depan pembelajaran masih akan dilaksanakan secara daring. Allah, apalagi ini. Mau nangis rasanya, tapi yakin gak akan kasih solusi apapun, yang ada justru memperburuk keadaan. Tapi mau bagaimana, apa semester lalu akan dibiarkan terulang di semester depan? itu pilihan Saya. Apapun hasilnya, saya yang akan menanggung dan merasakan. Berkali-kali membaca kalimat "Penderitaan belajar saat ini lebih baik darimana kebodohan di masa depan" tapi tetap saja, kadang saya jatuh juga. Tapi, saya sadar bahwa waktu tidak mungkin menunggu kondisi saya membaik. Maka jalan terbaik adalah menerima dan menjalaninya seoptimal mungkin.

Ini seperti desain yang Allah takdirkan. Memiliki rencana untuk meneliti Resiliensi Belajar Matematika sebagai konten disertasi saya, tetapi justru sepertinya saya tidak memiliki resiliensi yang kuat untuk bertahan di tengah pandem Covid-19 ini. Tapi, ini sekaligus menjadi jalan bagi saya merasakan apa saja kondisi yang tak baik yang dirasakan mahasiswa saat menjalani perkuliahan di tengah pandem ini. Ah, Allah itu manis sekali memberikan jalan. Ditengah kegalauan hasil semester yang tak karuan, saya memiliki secercah harapan untuk tugas akhri saya. Meski belum maksimal, tapi saya tahu bahwa saya masih berada pada track yang sama seperti dulu saat saya memutuskan untuk memulai pendidikan lagi. Saya juga sadar bahwa saya bisa melewati tekanan ini dengan baik. Tekanan ini tak mungkin saya hindari. Satu-satunya cara adalah memanfaatkannya agar membantu saya menyelesaiakan apa yang belum terselesaikan. Entah bagaimana caranya, semoga waktu membatu saya menemukan jawabannya. Aamiin.

Medan, Juli 2020

Akhirnya, terlewati.

0 Comments
Akhirnya, terlewati.

Bismillahirrahmanirrahim.

Setahun lalu, Desember 2018 saya memutuskan membeli Planner. Di halaman depannya, saya tuliskan apa yang menjadi impian saya di 2019. Salah satunya adalah menjadi mahasiswa kembali. Universitas Negeri Yogyakarta sebagai pilihan.
Meski keinginan melanjutkan pendidikan telah ada sejak dulu bahkan begitu lulus dari S2 dulu. Tapi, karena saya tahu diri bukan lahir darikeluarga yang berlebih, saya menahan diri. Berusaha untuk mengumpulkan koin demi koin untuk bisa melanjutkan pendiidkan. Jika memang tak mendapat kesempatan beasiswa, insyaaAllah tetap bisa dari uang tabungan.

Qadarullah, alhamdulillah beasiswa BPPDN Dikti di buka kembali setelah absen selama 3 tahun. Bersegera saya melengkapi semua persyaratan, mengikuti tes masuk, menyiapkan berkas proposal, mempersiapkan TOEFL, dan sebagainya. Alhamdulillah, Agustus 2018 saya resmi menjadi mahasiswa Doktoral Program Penelitian dan Evaluasi Pendidikan.

Awalnya, saya menganggap kuliah akan berjalan biasa, seperti dulu-dulu. "ah, pasti tidak jauh beda" batin dalam hati.

Tapi, apa? Ini sngguh jauh dari yang dibayangkan.

Kebiasaan belajar, yang jauh berbeda. referensi yang digunakan jauh sekali dari bayangan saya. Termasuk teman-teman sekelas yang jauh sekali dari apa yang dibayangkan.

Takut, bingung, cemas.
Pola hidup gak teratur, gaya belajar berantakan.
Merasa sendiri, atau emang dasar saya yang introvert membuat semuanya semakin berat.

Sungguh, jauh dari apa yang saya bayangkan.

Tapi alhamdulillah telewati juga 1 semester ini.
Dengan nilai yang alhamdulillah juga diluar ekspektasi, Alhamdulillah.

Jelang memasuki Semester 2, harus ada yang diperbaiki.
Terutama pola hidup dan gaya belajar.

"You must treatyour PhD Journey like a Job", pesan Vijay satu waktu dalam kuliah umumnya. Professor dari New Zealand ini tahu persis rupanya, menjadi kandidat doktor itu tak semata soal akademik, tapi soal manner kita. Yup, bismillah...

Insyaa Allah Semester 2, saya akan mulai melatih diri untuk memperlakukan kuliah saya seperti pekerjaan, 9am-4pm. Setelah 4pm, saya akan kembali menajlani kehidupan yang normal. Berkumpul dengn orang, mecari hiburan, santai, merilekskan diri.

Terima kasih paling pertama saya ucapkan untuk diri sendiri yang batal untuk menyerah, yang mau mencoba bertahan sekali lagi, yang berusaha untuk tidak lama-lama terpuruk. Terima kasih, aku.

Terima kasih untuk Amang, Inang dan kakak-kakak yang selalu menjadi alasan untuk kuatbertahan.

Terima kasih teman-teman lama yang meyainkan bahwa inipun akan berlalu, pun untuk teman-teman baru yang menerangkan pikir sehingga banyak tugas yang terselesaikan. Kalian, semoga Allah mudahkan urusan kalian yaa...

Bismillah.
Kita siap untuk melewati semester 2.

Di Tanah Air Beta(h)
Januari 2020

Tugas Kuliah Filsafat Prof. Dr. Marsigit, M.A. : Pendekatan Filsafat dalam Literasi Matematika

0 Comments
Tugas Kuliah Filsafat Prof. Dr. Marsigit, M.A. : Pendekatan Filsafat dalam Literasi Matematika
 Belajar filsafat bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A, melatih kami untuk mulai memandang setiap konten studi dari aspek filosofisnya. Sehingga kami semakin mampu mendalami hakikat yang ingin dibelajajarkan dari konten tersebut. Sama halnya seperti Literasi matematika, sudut pandang filsafat membuat kita lebih memahami apa dan mengapa Literasi Matematika penting untuk dibelajarkan pada siswa.
        Kompetensi matematika memiliki beberapa kemampuan yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa. Diantaranya adalah literasi matematika. Literasi matematika dimaknai sebagai sebuah pengetahuan untuk mengetahui dan menerapkan konsep matematika dasar setiap hari, tidak hanya pengetahuan akademik tetapi juga pengetahuan aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari (Ojose, 2011). Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melakukan uji literasi matematika kepada siswa usia minimal 15 tahun, atau setingkat siswa sekolah menengah. Sebagai salah satu Negara peserta uji, Indonesia masih berada di peringkat bawah. Khususnya pada uji Literasi Matematika, PISA mencatat posisi Indonesia berada di urutan ke 62 dari 70 negara peserta (OECD, 2016).
            Pemahaman yang berkembang selama ini, termasuk yang ada pada guru matematika, bahwa matematika adalah materi yang berkutat tentang angka dan operasinya. Padahal, belajar matematika sesungguhnya adalah bagaimana semua aktivitas sehari-hari dapat dirumuskan, dijalankan, dan diselesaikan berbagai permasalahannya dengan menggunakan matematika. Bentuk matematika inilah yang dapat diistilahkan dengan matematika non angka. Perimbangan antara matematika angka dan matematika non-angka penting dalam pelajaran matematika yang dikembangkan dalam kurikulum 2013. Literasi matematika sangat dibutuhkan untuk memahami matematika non-angka, misalnya dalam membaca suatu informasi, mulai dari mengidentifikasi, memahami masalah dan membuat suatu keputusan untuk menetapkan cara penyelesaiannya. Literasi Matematika adalah pengetahuan matematika, metode, dan proses yang diterapkan dalam berbagai konteks dalam wawasan dan cara reflektif  (Syahlan, 2015). Menurut de Lange (Ronda, 2011), literasi matematika adalah keaksaraan menyeluruh yang meliputi berhitung, kesadaran terhadap literasi kuantitatif dan literasi spasial, seperti yang ditunjukan oleh skema pada Gambar 1.



  Literasi Matematika Sebagai Kemampuan Memahami Ruang (Spatial Literacy)
            Pada umumnya kesulitan siswa dalam memahami konsep spasial adalah kurangnya kegiatan siswa dalam pembelajaran. Siswa minim kegiatan dalam membuat produk-produk belajar, atau rendahnya pemanfaatan media yang dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan siswa. Kegiatan pembelajaran yang aktif akan membuat siswa lebih tertarik belajar dan dapat menumbuhkan kreativitas. Sebagai perguruan tinggi terbaik di Amerika Serikat, Carleton College telah merumuskan bahwa “Spatial literacy is the ability to use the properties of space to communicate, reason, and solve problems,” yang berarti bahwa spatial literacy adalah kemampuan untuk menggunakan sifat-sifat ruang dalam berkomunikasi, memberikan alasan serta memecahkan masalah. Literasi spasial memberdayakan individu untuk memahami dunia tiga dimensi di mana ia tinggal dan bergerak. Hal ini membutuhkan pemahaman tentang sifat benda, posisi relatif objek dan pengaruhnya terhadap persepsi visual seseorang, penciptaan semua jenis jalur tiga-dimensi dan rute, praktek navigasi, dan sebagainya.
            Literasi Spasial yang diwujudkan dalam materi geometri pada pembelajaran matematika, lebih berkenaan dengan bangun-bangun geometri, garis dan sudut, kesebangunan, kekongruenan, transformasi, dan geometri analitis. Mempelajari pola-pola visual, yang akan menghubungkan matematika dengan dunia nyata. Geometri juga dapat dipandang sebagai sistem matematika yang menyajikan fenomena yang bersifat abstrak (tidak nyata), akan tetapi dalam pembelajarannya bertahap didahului dengan benda-benda kongkret sebagai media sesuai dengan tahap perkembangan anak. Literasi spasial, merupakan hal yang abstrak yang tidak dapat diraba, dipegang, atau diamati secara langsung melalui panca indera, akan tetapi mereka ada dan dapat dipelajari sebagai materi matematika yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
            Immanuel Kant menganggap matematika sebagai contoh bentuk apriori. Kant menilai, matematika sebagai gambaran ruang (dan waktu) yang membutuhkan dan melibatkan ruang untuk menghasilkan sebuah materi, maupun struktur tertentu. Pendekatan Filsafat untuk literasi spasial dalam literasi matematika merupakan bahasan tentang keberadaan objek. Hal ni berhubungan dengan persoalan tentang ”ada”, sehingga berada pada ranah ontologi. Literasi spasial akan ditinjau dari aspek ontologi, dimana aspek ontologi memandang bahwa untuk mengkaji bagaimana mencari inti yang tepat dari setiap kenyataan yang ditemukan, membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.
Dalam tulisannya yang berjudul Sejarah Dan Filsafat Matematika” Profesor Marsigit dari Universitas Negeri Yogyakarta menjelaskan, bahwa sebagai matematika murni, Kant menilai matematika sebagai kognisi Apriori, hanya mungkin dengan mengacu pada benda selain yang diindra, di mana, di dasar intuisi empiris mereka terletak sebuah intuisi murni (ruang dan waktu) yang Apriori. Lebih lanjut, ditulisan tersebut dijelaskan Kant mengklaim bahwa ini mungkin, karena intuisinya yang terakhir tidak lain adalah bentuk sensibilitas belaka, yang mendahului penampilan yang sebenarnya dari objek, dalam hal ini, pada kenyataannya, membuat mereka mungkin; namun ini merupakan kemampuan berintuisi a priori yang mampu memahami fenomena non fisik. Kant lebih jauh menyatakan bahwa di mana-mana ruang memiliki tiga dimensi, dan pada suatu ruang berlaku dalil bahwa tidak lebih dari tiga garis lurus dapat memotong pada sudut yang tepat di satu titik. (Marsigit, 2018).

            Contoh sederhana pada literasi spasial adalah bagaiaman seorang siswa diminta untuk membentuk sebuah kubus dari susunan lembar karton. Maka sesuangguhnya, bentuk kubus dari karton hanya sebuah model yang menerjemahkan pikiran, untuk memudahkan dalam pembelajaran. Padahal, sesungguhnya bentuk kubus telah ada dalam pikiran sehingga kita dapat memahaminya secara abstrak tanpa melihat model terlebih dahulu. Mampu menghitung luas, keliling dan volume kubus. Maka ini adalah makna matematika murni sebagai bentuk kognisi Apriori. Tetapi, bagi siswa Sekolah Dasar misalnya, dibutuhkan pemodelan yang kongkrit sehingga siswa dapat mengidentifikasi benda-benda disekitar yang berbentuk kubus, maka bagi siswa sekolah dasar, literasi spasial dimaknai sebagai bentuk kognisis posteriori, dimana siswa membutuhkan pengalaman untuk mengetahui. Berdasarkan itu, maka Literasi Spasial pada literasi matematika diukur pada siswa usia minimal 15 tahun, dimana pada usia tersebut siswa dianggap telah mampu menggunakan pikiran untuk mengabstraksi berbagai bentuk.
        Pada ranah epistemologi, literasi matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Hal ini ditunjukkan de’ Lange dalam struktur literasi matematikanya. Dengan konsep-konsep yang kongkrit, kontektual, dan terukur matematika dapat memberikan jawaban secara akurat, dapat dikuantifikasi. Dalam literasi spasial, dalam hal ini materi geometri, upaya memahami bentuk-bentuk abstrak untuk menghasilkan solusi membutuhkan kontekstual dan pemodelan yang lebih kongkret. Kebutuhkan ini, yang kemudian menjadi ciri khas literasi matematika. Dimana kehidupan sehari-hari menjadi konteks belajar matematika. Maka, dengan pendekatan filsafat, literasi spasial dalam matematika akan sesuai dengan pendapat bahwa kehidupan sehari-hari adalah laboratorium dalam berfilsafat (Marsigit, 2019). Maka dalam literasi matematika, berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari adalah laboratorium aktivitas matematika.
            Pemodelan atau abstraksi kehidupan sehari-hari sebagai laboratorim literasi spasial dalam literasi matematika, merupakan sebuah imaji yang memiliki proses kognitif terhadap objek. Di saat indera menangkap objek spasila (geometri) atau pemodelannya, maka kognisis seseorang  akan menangkap keseluruhan objek yang dilihat beserta keadaan lain, termasuk sifat-sifat objek tersebut. Sehingga ketika menemukan objek spasila yang sebenarnya abstrak, danmemiliki kesamaan sifat atau ciri dengan pengalaman (posteriori) pikiran akan membentuk objek spasial ( geometri) tersebut. Berdasarkan gagasan abstraksi dalam proses kognisi tersebut, maka objek-objek spasial menemukan landasan ontologinya.
              Sebagai ilmu abstrak, Literasi matematika yang memuat literasi spasial, numeracy dan quantitative literacy memiliki peran terhadap kemajuan teknologi untuk menyelesaiakn berbagai persoalan sehari-hari. Secara practical maupun moral, sehingga literasi matematika dengan mudah juga akan mendapati landasan aksiologinya. Landasan aksiologi yang dimaksud adalah yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Aksiologi merupakan filsafat nilai, menguak baik buruk, benar-salah dalam perspektif nilai. Aksiologi matematika sendiri terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran, tanggungjawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang membahas mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya dalam kehidupan. Jadi, jika ditinjau dari aspek aksiologi, literasi matematika seperti ilmu-ilmu yang lain, yang sangat banyak memberikan kontribusi perubahan bagi kehidupan.

Terima Kasih 2019, Selamat datang 2020

0 Comments
Terima Kasih 2019, Selamat datang 2020

Setiap kali tahun berganti, kau adalah orang pertanya yang ingin ku aja bicara, Nay.
Seperti pergantian tahun-tahun sebelumnya.

Semua yang kau sampaikan dulu, di penghujung 2018 ternyata benar. Alhamdulillah kita bisa melewati 2019 dengan baik. Sungguh terima kasih karena tetap bertahan, sekuat dan selama ini.
Terima kasih karena dengan segala ke-random-an ku, kau tetap mau disampingku. Menemani kerusuhan dan kegalauan yang absurd dariku. Kita siap menghadapi 2020 yang entah bagaimana, tapi kita siap melewatinya, kan?

Ada banyak hal yang tak direncanakan ternyata terjadi di 2019. Amang yang harus berbulan-bulan aku perhatikan perawatankesehatannya, sampai dengan Inang yang harus ku jaga-jaga hatinya. Pun semua kejadian-kejadian yang hampir membuatku putus asa, ingin melepas semua impian. Tapi, alhamdulillah, tahun-tahun sebelumnya yang kita lewati dengan belajar meluaskan hati membuat kita siap menerimanya. Semoga itu tetap bertahan, dan kita telah akan siap menghadapinya di 2020. Hingga kebaikan demi kebaikan hadir. Termasuk kau, rahmat Allah yang selalu aku syukuri. Pun, rejeki beasiswa yang Allah turunkan sebagai penghibur di akhir tahun.

Setelah kau, Amang dan Inang adalah sepasang sayapku yang ingin kuucapkan banyak terima kasih, Nay. Seperti kau tahu, diusia mereka yang semakin sepuh aku masih saja banyak merepotkan mereka. Tapi tak sedikitpun kata sesal dan keluh yang mereka ucapkan dengan sungguh-sungguh. Entah bagaimana cara membalas mereka. Sepertinya tak mungkin. Memang tak akan pernah mungkin bisa.
Semoga Allah limpahkan banyak kesahatan untuk Amang dan Inang. Allah berkahi usia mereka. Allah karuniakan sabar diantara mereka, hingga nanti pertemuan di syurgaNya.

Ada banyak rencana di 2020 yang telah kita bicarakan dalam sunyi, semoga Allah ridho dan membiarkan kita menikmati setiap proses pun hasilnya. Mungkin perdebatan-perdebatan kita masih akan terus terjadi sepanjang 2020. Eh, tidak. Mungkin seumur hidup kita. Semoga selalu ada cinta kasih dalam setiap perdebatan kita, hingga Allah ridho.

Selamat datang, 2020.
Mari berteman.

Di Awal 2020, di Bawah Langit Yang Sama.

: DAP