Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

0 Comments
Sumber: www.google.com


Allah itu, tahu sekali cara menguji hambaNya. Bagi saya, pandemi Covid-19 ini ujian yang cukup berat. Memulai pendidikan doktoral setelah 6 tahun tidak bergelut dengan kuliah sudah cukup berat bagi saya. Belum lagi suasana dan kultur belajar yang berbeda, membuat saya harus mengerahkan effort yang lebih dari biasanya. Qadarullah, wabah Covid-19 tiba juga di Indonesia. Kampus diliburkan, perkuliahan dilakukan secara online. Boom! Belajar secara luring saja saya harus tertatih-tatih, apalagi belajar daring. Tapi, semua tetap harus dijalani dengan lapang dada.

Hal-hal yang saya khawatirkan terjadi. Kuliah tidak maksimal, mengumpulkan tugas seadanya, ilmu yang didapat juga minim. Sejujurnya saya ingin menyerah di semester kemarin. Tapi, entah itu pilihan yang baik atau buruk, entahlah. Hanya saja, saya merasa tidak bisa melewati pendidikan saya dengan 'terpaksa', dengan pengetahuan yang seadanya, bahkan minim. Akan menjadi lulusan seperti apa saya jika saya tidak mampu menjadi expert pada bidang saya? Sungguh, saya ingin menyerah. Alih-alih maksimal dalam pelajaran, saya masih sibuk menata hati, pikiran dan mental untuk menerima keadaan ini. Keadaan bahwa kuliah harus online, materi diberikan seadanya, kesulitan untuk mencari referensi, bertahan di rumah dengan sumber referensi seadanya. Saya sibuk menjaga ketahanan psikologis saya.


Semester belalu, kabar buruk tak berhenti. Semester depan pembelajaran masih akan dilaksanakan secara daring. Allah, apalagi ini. Mau nangis rasanya, tapi yakin gak akan kasih solusi apapun, yang ada justru memperburuk keadaan. Tapi mau bagaimana, apa semester lalu akan dibiarkan terulang di semester depan? itu pilihan Saya. Apapun hasilnya, saya yang akan menanggung dan merasakan. Berkali-kali membaca kalimat "Penderitaan belajar saat ini lebih baik darimana kebodohan di masa depan" tapi tetap saja, kadang saya jatuh juga. Tapi, saya sadar bahwa waktu tidak mungkin menunggu kondisi saya membaik. Maka jalan terbaik adalah menerima dan menjalaninya seoptimal mungkin.

Ini seperti desain yang Allah takdirkan. Memiliki rencana untuk meneliti Resiliensi Belajar Matematika sebagai konten disertasi saya, tetapi justru sepertinya saya tidak memiliki resiliensi yang kuat untuk bertahan di tengah pandem Covid-19 ini. Tapi, ini sekaligus menjadi jalan bagi saya merasakan apa saja kondisi yang tak baik yang dirasakan mahasiswa saat menjalani perkuliahan di tengah pandem ini. Ah, Allah itu manis sekali memberikan jalan. Ditengah kegalauan hasil semester yang tak karuan, saya memiliki secercah harapan untuk tugas akhri saya. Meski belum maksimal, tapi saya tahu bahwa saya masih berada pada track yang sama seperti dulu saat saya memutuskan untuk memulai pendidikan lagi. Saya juga sadar bahwa saya bisa melewati tekanan ini dengan baik. Tekanan ini tak mungkin saya hindari. Satu-satunya cara adalah memanfaatkannya agar membantu saya menyelesaiakan apa yang belum terselesaikan. Entah bagaimana caranya, semoga waktu membatu saya menemukan jawabannya. Aamiin.

Medan, Juli 2020

never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen

Tidak ada komentar