Adakah tempat di mana kematian tak bisa menemukanku?
Lubang mana yang bisa menyembunyikanku dari kematian?
Bisakah pergi jauh darinya, lantas ia melupakanku?
Andai saja ada dan bisa, sesak ini tak begitu perih ditahan.
Yakinku, bahwa kematian bisa menjemputku, kapan dan dimana saja. Tak ada permisi, tak ada kompromi atau sekedar memohon belas kasih.
Darinya
aku teringat waktu yang sia-sia
Siapakah yang mampu dengan tepat mengingatkanku tentang
berharganya setiap detik yang kulalui, jika bukan kematian. Siapakah yang bisa
dengan manis mengingatkanku tentang waktu yang kian habis-sedang aku tak
peduli-jika bukan kematian. Siapa pula yang mampu memberitahuku di mana dan
bagaimana nafas terakhir kuhembuskan. Duhai, tak ada satu detik pun terlewat
melainkan ajal kian dekat. Telah dekat hari itu, dimana semua perbuatan akan
dihisab, sedangkan masih lalai, sombong seakan dunia ini akan menyelamatkanku
darinya. Mulut tak lagi mengambil peran muslihat, tak akan bisa. Masing-masing anggota tubuh akan bertanggungjawan.
Darinya aku bertanya, “Siapalah aku?”
Di dunia ini, aku hanya sebagai wayang yang kapan saja Sang
Dalang berhak menghentikan permainan. Sungguh, terserah bagaimana akhir
ceritanya, sekeinginanNya. Maka apalah guna peran-peran yang telah kita mainkan
dengan sombong, jika setiap cerita akan berakhir padaNya. Apalah beda peran
Raja dan Sahaya, jika keduanya akan berakhir juga. Lantas siapalah aku layak
tinggi hati dihadapan makhlukNya yang lain? atau bahkan dihadapanNya. Permainan berakhir, peran berhenti, habislan semua cerita, hilanglah harapan kisah masa depan.
Darinya aku teringat bahwa aku tak memiliki apa-apa.
Andai harta, segala yang ku punya dan yang kuusahakan mampu menjadi
bekal di dalam liang 2x3 yang gelap dan dingin. Tapi, tak satupun selain kain
kafan putih yang membalut tubuh, dan amal yang menjadi penerang dalam gelap.
Tapi, sungguh malu diri entah amal mana yang bisa ku persembahkan, ketika masih
saja ada setitik kesombongan dalam niatnya. Sedang diri masih saya menganggap
biasa dosa-dosa kecil yang sering.
Ia ingatkan ku, ini tak akan pernah jadi selamanya.
Orang-orang yang memuji, meng-elu-elu-kan, dan kesukses
pencapaian impian, seringnya membisikkanku, bahwa aku akan hidup 1001 tahun untuk
menikmatinya. Seolah-olah aku tak akan pernah bisa lepas dari segala kenikmatan
yang ditawarkan dunia. Aku lupa, usia yang bertambah, fisik yang mulai ringkih
pertanda bahwa hidupku tak akan pernah selamanya. Kematian akan memisahkanku
dari setiap kenikmatan dunia yang selama ini membuatku terlena. Aku yang lalai
menjaga kehidupan bersamaku, padahal setiap detik yang kulalui adalah harta
yang tak ternilai. Di dalamnya seharusnya aku tumbuh suburkan amal kebaikan
mengharap belas ridhoNya. Memanfaatkan setiap nafasku sebagai penyubur
amal-amal kebaikan. Harusnya, aduhai, seharusnya begitu.
Mohon Ampun Allah…
“Ya Alloh, akhirilah hidup kami dengan islam, akhirilah hidup kami dengan membawa iman, akhirilah hidup kami dengan husnul khotimah. Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh”
never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen