Tugas Kuliah Filsafat Prof. Dr. Marsigit, M.A. : Pendekatan Filsafat dalam Literasi Matematika

0 Comments
 Belajar filsafat bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A, melatih kami untuk mulai memandang setiap konten studi dari aspek filosofisnya. Sehingga kami semakin mampu mendalami hakikat yang ingin dibelajajarkan dari konten tersebut. Sama halnya seperti Literasi matematika, sudut pandang filsafat membuat kita lebih memahami apa dan mengapa Literasi Matematika penting untuk dibelajarkan pada siswa.
        Kompetensi matematika memiliki beberapa kemampuan yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa. Diantaranya adalah literasi matematika. Literasi matematika dimaknai sebagai sebuah pengetahuan untuk mengetahui dan menerapkan konsep matematika dasar setiap hari, tidak hanya pengetahuan akademik tetapi juga pengetahuan aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari (Ojose, 2011). Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melakukan uji literasi matematika kepada siswa usia minimal 15 tahun, atau setingkat siswa sekolah menengah. Sebagai salah satu Negara peserta uji, Indonesia masih berada di peringkat bawah. Khususnya pada uji Literasi Matematika, PISA mencatat posisi Indonesia berada di urutan ke 62 dari 70 negara peserta (OECD, 2016).
            Pemahaman yang berkembang selama ini, termasuk yang ada pada guru matematika, bahwa matematika adalah materi yang berkutat tentang angka dan operasinya. Padahal, belajar matematika sesungguhnya adalah bagaimana semua aktivitas sehari-hari dapat dirumuskan, dijalankan, dan diselesaikan berbagai permasalahannya dengan menggunakan matematika. Bentuk matematika inilah yang dapat diistilahkan dengan matematika non angka. Perimbangan antara matematika angka dan matematika non-angka penting dalam pelajaran matematika yang dikembangkan dalam kurikulum 2013. Literasi matematika sangat dibutuhkan untuk memahami matematika non-angka, misalnya dalam membaca suatu informasi, mulai dari mengidentifikasi, memahami masalah dan membuat suatu keputusan untuk menetapkan cara penyelesaiannya. Literasi Matematika adalah pengetahuan matematika, metode, dan proses yang diterapkan dalam berbagai konteks dalam wawasan dan cara reflektif  (Syahlan, 2015). Menurut de Lange (Ronda, 2011), literasi matematika adalah keaksaraan menyeluruh yang meliputi berhitung, kesadaran terhadap literasi kuantitatif dan literasi spasial, seperti yang ditunjukan oleh skema pada Gambar 1.



  Literasi Matematika Sebagai Kemampuan Memahami Ruang (Spatial Literacy)
            Pada umumnya kesulitan siswa dalam memahami konsep spasial adalah kurangnya kegiatan siswa dalam pembelajaran. Siswa minim kegiatan dalam membuat produk-produk belajar, atau rendahnya pemanfaatan media yang dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan siswa. Kegiatan pembelajaran yang aktif akan membuat siswa lebih tertarik belajar dan dapat menumbuhkan kreativitas. Sebagai perguruan tinggi terbaik di Amerika Serikat, Carleton College telah merumuskan bahwa “Spatial literacy is the ability to use the properties of space to communicate, reason, and solve problems,” yang berarti bahwa spatial literacy adalah kemampuan untuk menggunakan sifat-sifat ruang dalam berkomunikasi, memberikan alasan serta memecahkan masalah. Literasi spasial memberdayakan individu untuk memahami dunia tiga dimensi di mana ia tinggal dan bergerak. Hal ini membutuhkan pemahaman tentang sifat benda, posisi relatif objek dan pengaruhnya terhadap persepsi visual seseorang, penciptaan semua jenis jalur tiga-dimensi dan rute, praktek navigasi, dan sebagainya.
            Literasi Spasial yang diwujudkan dalam materi geometri pada pembelajaran matematika, lebih berkenaan dengan bangun-bangun geometri, garis dan sudut, kesebangunan, kekongruenan, transformasi, dan geometri analitis. Mempelajari pola-pola visual, yang akan menghubungkan matematika dengan dunia nyata. Geometri juga dapat dipandang sebagai sistem matematika yang menyajikan fenomena yang bersifat abstrak (tidak nyata), akan tetapi dalam pembelajarannya bertahap didahului dengan benda-benda kongkret sebagai media sesuai dengan tahap perkembangan anak. Literasi spasial, merupakan hal yang abstrak yang tidak dapat diraba, dipegang, atau diamati secara langsung melalui panca indera, akan tetapi mereka ada dan dapat dipelajari sebagai materi matematika yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
            Immanuel Kant menganggap matematika sebagai contoh bentuk apriori. Kant menilai, matematika sebagai gambaran ruang (dan waktu) yang membutuhkan dan melibatkan ruang untuk menghasilkan sebuah materi, maupun struktur tertentu. Pendekatan Filsafat untuk literasi spasial dalam literasi matematika merupakan bahasan tentang keberadaan objek. Hal ni berhubungan dengan persoalan tentang ”ada”, sehingga berada pada ranah ontologi. Literasi spasial akan ditinjau dari aspek ontologi, dimana aspek ontologi memandang bahwa untuk mengkaji bagaimana mencari inti yang tepat dari setiap kenyataan yang ditemukan, membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.
Dalam tulisannya yang berjudul Sejarah Dan Filsafat Matematika” Profesor Marsigit dari Universitas Negeri Yogyakarta menjelaskan, bahwa sebagai matematika murni, Kant menilai matematika sebagai kognisi Apriori, hanya mungkin dengan mengacu pada benda selain yang diindra, di mana, di dasar intuisi empiris mereka terletak sebuah intuisi murni (ruang dan waktu) yang Apriori. Lebih lanjut, ditulisan tersebut dijelaskan Kant mengklaim bahwa ini mungkin, karena intuisinya yang terakhir tidak lain adalah bentuk sensibilitas belaka, yang mendahului penampilan yang sebenarnya dari objek, dalam hal ini, pada kenyataannya, membuat mereka mungkin; namun ini merupakan kemampuan berintuisi a priori yang mampu memahami fenomena non fisik. Kant lebih jauh menyatakan bahwa di mana-mana ruang memiliki tiga dimensi, dan pada suatu ruang berlaku dalil bahwa tidak lebih dari tiga garis lurus dapat memotong pada sudut yang tepat di satu titik. (Marsigit, 2018).

            Contoh sederhana pada literasi spasial adalah bagaiaman seorang siswa diminta untuk membentuk sebuah kubus dari susunan lembar karton. Maka sesuangguhnya, bentuk kubus dari karton hanya sebuah model yang menerjemahkan pikiran, untuk memudahkan dalam pembelajaran. Padahal, sesungguhnya bentuk kubus telah ada dalam pikiran sehingga kita dapat memahaminya secara abstrak tanpa melihat model terlebih dahulu. Mampu menghitung luas, keliling dan volume kubus. Maka ini adalah makna matematika murni sebagai bentuk kognisi Apriori. Tetapi, bagi siswa Sekolah Dasar misalnya, dibutuhkan pemodelan yang kongkrit sehingga siswa dapat mengidentifikasi benda-benda disekitar yang berbentuk kubus, maka bagi siswa sekolah dasar, literasi spasial dimaknai sebagai bentuk kognisis posteriori, dimana siswa membutuhkan pengalaman untuk mengetahui. Berdasarkan itu, maka Literasi Spasial pada literasi matematika diukur pada siswa usia minimal 15 tahun, dimana pada usia tersebut siswa dianggap telah mampu menggunakan pikiran untuk mengabstraksi berbagai bentuk.
        Pada ranah epistemologi, literasi matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Hal ini ditunjukkan de’ Lange dalam struktur literasi matematikanya. Dengan konsep-konsep yang kongkrit, kontektual, dan terukur matematika dapat memberikan jawaban secara akurat, dapat dikuantifikasi. Dalam literasi spasial, dalam hal ini materi geometri, upaya memahami bentuk-bentuk abstrak untuk menghasilkan solusi membutuhkan kontekstual dan pemodelan yang lebih kongkret. Kebutuhkan ini, yang kemudian menjadi ciri khas literasi matematika. Dimana kehidupan sehari-hari menjadi konteks belajar matematika. Maka, dengan pendekatan filsafat, literasi spasial dalam matematika akan sesuai dengan pendapat bahwa kehidupan sehari-hari adalah laboratorium dalam berfilsafat (Marsigit, 2019). Maka dalam literasi matematika, berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari adalah laboratorium aktivitas matematika.
            Pemodelan atau abstraksi kehidupan sehari-hari sebagai laboratorim literasi spasial dalam literasi matematika, merupakan sebuah imaji yang memiliki proses kognitif terhadap objek. Di saat indera menangkap objek spasila (geometri) atau pemodelannya, maka kognisis seseorang  akan menangkap keseluruhan objek yang dilihat beserta keadaan lain, termasuk sifat-sifat objek tersebut. Sehingga ketika menemukan objek spasila yang sebenarnya abstrak, danmemiliki kesamaan sifat atau ciri dengan pengalaman (posteriori) pikiran akan membentuk objek spasial ( geometri) tersebut. Berdasarkan gagasan abstraksi dalam proses kognisi tersebut, maka objek-objek spasial menemukan landasan ontologinya.
              Sebagai ilmu abstrak, Literasi matematika yang memuat literasi spasial, numeracy dan quantitative literacy memiliki peran terhadap kemajuan teknologi untuk menyelesaiakn berbagai persoalan sehari-hari. Secara practical maupun moral, sehingga literasi matematika dengan mudah juga akan mendapati landasan aksiologinya. Landasan aksiologi yang dimaksud adalah yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Aksiologi merupakan filsafat nilai, menguak baik buruk, benar-salah dalam perspektif nilai. Aksiologi matematika sendiri terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran, tanggungjawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang membahas mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya dalam kehidupan. Jadi, jika ditinjau dari aspek aksiologi, literasi matematika seperti ilmu-ilmu yang lain, yang sangat banyak memberikan kontribusi perubahan bagi kehidupan.

never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen

Tidak ada komentar