[ Joker, Ilustrasi Nyata Dampak Hilangnya Empati di Muka Bumi - Part 1 ]

0 Comments
Bismillahirrahmannirrahim.
Mau mencoba review film boleh yaa..
Jadi, sebenarnya saya tidak tertarik menonton Joker, sampai mendengar sekumpulan mahasiswa membicarakannya di kursi tunggu pergantian kelas di kampus.
Sepertinya mereka ini mahasiswa Pendidikan Bimbingan Konseling, karena diskusinya terdengar ditinjau dari sisi Psikologi.
Sebagai orang yang juga pernah di bully, pernah mengalami mental-illness dulu, saya jadi tertarik untuk mengetahui jalan cerita film yang heboh karena ternyata ditonton juga oleh anak usia dibawah 18 tahun. Padahal, tertulis jelas sasaran usia penonton film ini.
Oke, kita mulai ya...
Gambar mungkin berisi: 1 orang, dekat
Mental-illness, itu kesimpulan saya saat selesai menonton film ini. Kabar buruknya, mental-illnes (yang dialami Joker) disebabkan oleh lingkungannya. Percayalah teman-teman, pelaku kekerasan terhadap anak itu justru mayoritas bersumber dari orang terdekatnya. Kekerasan pada anak yang bentuknya bisa berupa rusaknya psikologis anak, bisa bersumber dari orang tua. Memiliki ibu yang juga memiliki riwayat gangguan jiwa, adalah awal kehidupan yang buruk bagi seorang anak.
Itulah yang dialami Joker.
Tidak cukup ternyata. Kehidupan sekitar-lingkungan dan semua pendukungnya-ternyata juga menjadi tempat yang berbahaya jika di rumah, kita juga tidak mendapat kekuatan jiwa yang baik. Kehidupan yang keras, orang-orang yang hilang empati dan simpati. Merasa biasa menyakiti orang lain, atau bahkan merasa lucu saat kita mem-bully orang lain dari penampilan, pekerjaan, fisik, hobby, atau lainnya.
Itulah yang dialami Joker.
Parahnya, dunia ini juga menghendaki kita selalu menjadi orang yang kuat. Motivator-motivator yang iklannya tiap hari muncul di feeds sosial media kita, di broadcast WA atau platform promosi apa aja, cuma bisa kasih saran, "jangan dengarkan orang lain, biarkan saja mereka membully"
Pernahkah ada yang bilang, "mau marah? mau nangis? nangislah! Marahlah! dengan cara yang benar!"
Dipanggil "Happy" oleh ibunya, ternyata tak lantas menjadi doa bagi Joker. Hidupnya justru dikellilingi kesedihan, tertekan, marah yang tak bisa diungkapkan, sedih yang tak tahu cara menerjemahkannya. Tak ada teman bicara, tak ada yang mau menerima ceritanya, tak ada yang mau mendengarkannya.
Maka luka itu akan bertumpuk. bertahun-tahun, belasan tahun, puluhan tahun.
BOOM!
Kesedihannya berbuah malapetaka. Bahkan boleh jadi kepada orang yang tak ada hubungannya dengan dia.
Jalan pintas akan ditempuh, apakah melukai diri sendiri dan atau melukai orang lain.
Siapa yang disalahkan?
Joker?
Anak-anak yang menjadi depresi?
Bukan.
Kitalah yang menjadi penyebab.
Saya browsing di google, dan beberapa jurnal ilmiah terkait mental-ilnees ini.
Artikel pertama yang saya baca, adalah artikel dari :
https://www.suara.com/…/mental-illness-better-you-know-and-…
dalam artikel di tuliskan bahwa para peneliti dari Harvard Medical School menemukan, 50% kasus gangguan mental dimulai dari usia sangat muda, 14 tahun dan 7% terjadi sejak usia 24 tahun.
Apa maknanya, jika 50% kasus mental illness terjadi sejak usia 14 tahun? Bahwa usia 14 tahu awal ditemukannya gejalan gangguan jiwa.
Maka sejak usia berapa tahun ia mengalami kekerasan mental?
dalam artikel juga menuliskan, bahwa Direktur Eksekutif National Alliance on Mental Illness (NAMI), Mary Giliberti, menyatakan, ada 1 dari 5 remaja mengidap kondisi gangguan mental (name.org). Tapi, kurang dari setengahnya yang memutuskan mencari bantuan.
Jurnal ilmiah juga menuliskan, bahwa tingginya angka prevalensi gangguan mental berdampak pada beban sosial dan ekonomi, namun hanya 10% yang menerima penanganan profesional. ( Rochman Hadjam, dan Anita Novianti, 2017, dengan judul "Literasi Kesehatan Mental dan Sikap Komunitas sebagai Prediktor Pencarian Pertolongan Formal", journal Psikologi UGM, Vol. 44, No. 1)
Kenapa? yaa karena itu. Dunia ini selalu merasa kalau orang yang marah itu jahat, orang yang nagis itu lemah.
Seolah-olah, kalau kita disakiti dan marah, kita yang jahat. Kalau kita sedih dihina, kita yang lemah.
Akhirnya, setiap korban yang depresi merasa malu pergi ke tenaga profesional. Ketika terlambat dan sudah membahayakan bahkan memakan korban, apa yang bisa dilakukan seorang profesional selain mengurungnya atau menyuntiknya dengan obat penenang?
Come on, standar macam apa ini?
Itulah yang terjadi pada Joker.
Membunuh, menyakiti orang yang menyakitinya, dengan cara yang sadis. Berhalusinasi yang liar bersama orang lain. Bahkan mempertontonkan kekejamannya, merasa bahagia. Menemukan kepuasan dengan membunuh orang lain.
Mengerikan. Begitulah dampak mental-illnes yang terparah.
Apa dampaknya bagi penonton film ini?
Nge-las dulu.
Jelang Dhuha, 2019.
: DAP
Sumber Gambar: www.google.com

never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen

Tidak ada komentar