Kepahitan Yang Menguatkan
Delyanti A. Pulungan
September 16, 2018
0 Comments
Saat ada teman yang bertanya, "Suka banget sama Kopi?" atau teman yang berkomentar saat mencicipi kopi milik saya, "pait kali kopimu!", saya sering menjawab, "Lebih pahit hidupku". Kebanyak orang menganggap itu adalah kelakar semata. Padahal, itu adalah faktanya. Bagi saya, hidup itu memang jauh lebih pahit dari pahitnya rasa Espresso. Saya pilih espresso karena ia adalah kopi terpahit yang pernah saya minum.
Sungguh jika benar-benar mau berlapang dada, maka sebenarnya itu adalah pernyataan yang serius. Jika harus memilih antara minum kopi pahit atau menjalani kehidupan yang pahit, saya pastilah lebih memilih meminum espresso setiap dua jam sekali atau lebih. Sayang, kita tak bisa memilih. Sehingga, saya menikmati keduanya. Beruntungnya, setiap kali menyengaja meminum espresso (murni) saya selalu mengenang rasa pahitnya, dan menjadikannya sebagai pemanasan untuk menghadapi berbagai kesulitan. Faktanya, selama ini berhasil.
Mungkin orang-orang akan menilai saya terlalu lebay. Tak apalah, toh saya hidup bukan untuk memuaskan keinginan orang lain. Tapi saya selalu belajar dari setiap kepahitan yang saya alami. Apa saja bentuknya, dari hal-hal terkecil hingga hal terbesar yang harus dihadapi oleh seorang perempuan. Beruntungnya saya, tubuh saya menerima semua itu dengan terbuka. Menjadikannya sebagai pelajaran. Bukan untuk disesali, tapi justru menjadi kekuatan untuk menghadapai kondisi yang lebih berat.
Jika ada yang tanya bagaimana saya melewatinya, saya tak pernah punya jawaban pasti. Kadang nangis sendiri sampai kejer-kejer, kadang cuma duduk minum kopi sendiri, kadang baca buku, kadang pergi naik turun angkot, kadang motoran gak ada tujuan, atau sekedar duduk di Indomaret Point sambil nyemilin pocky. Tapi yang bisa saya pastikan bahwa saya melewati setiap kepahitan dengan penuh kesadaran. Tidak pernah dengan membenci, tak pernah dengan mendendam, atau dengan amarah. Tidak lagi. Dulu? Iya...people change, right?
Btw, beberapa orang pakar afirmasi yang saya kenal, sering mengkoreksi saya, "jangan-jangan karena dirimu merasa aman menghadapi kepahitan hidup makanya hidupmu tak pernah manis"
Jleb gak sih?
awalnya iya...
sempat juga berpikir, "ah jangan-jangan benar"
Tapi, saya juga punya teman yang suka sekali dengan Es Teh Manis Sekali. Alias penyuka manis, tapi ternyata hidupnya juga tak selalu manis.
Saya, meskipun penyuka kopi (pahit) gak selalu melewati hidup dengan kepahitan kok...
Sometimes ada manisnya, misalnya ketika anak-anak di kelas bisa mengikuti pelajaran dengan baik. atau misalnya anak-anak di KB gak ada yang nangis, atau misalnya masuk parkiran kampus tandap diusir disuruh keparkiran mahasiswa...itu maniiiisss bangeeet...
And now, this is me!
Si Penyuka Kopi, si penikmat kepahitan.
Tapi, belakangan saya sedikit terganggu.
Apakah, prinsip ini seakan-akan justru mengundang segala kepahitan dalam hidup saya?
Boleh jadi benar.
Kadang, pikiran kita yang menikmati kepahitan justru mengundang semesta untuk terus menghadirkan kepahitan demi kepahitan.
Tapi, apa mau di kata.
Saat ini, sampai disitulah masih kemampuan saya.
Tentu saya akan terus belajar.
Sekuat tenaga mungkin belajar mengendalikan rasa dan pikiran.
Bismillah.
Di Tanahku, September 2018
: DAP
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen