Surat Cinta Untuk Amang #2

0 Comments
Bagiku hanya ada dua cara mencintaimu: melawanmu atau mengikuti semua inginmu. Tapi aku memilih mencintaimu dengan melawan, Mang. Bukan untuk mengalahkanmu, tapi justru agar ada kenangan bahwa aku pernah dengan sangat keras memperjuangan kehidupan kita. Aku dibentuk oleh didikan tanganmu yang kasar, tapi aku tau kau mencintaiku. Aku hanya ingin kita berkompromi, bahwa tidak selamanya orangtua tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Kadangkala, anak boleh jadi benar dalam memilih. Maka inilah pilihanku, mencintaimu dengan melawan. Kelak, ketika aku dewasa, kenangan ini akan muncul sebagai bingkisan termanis. Hasil dari doa-doamu tentang anak perempuanmu yang dewasa mandiri dan penuh dedikasi mencintaimu, Mang.




Kata orang-orang kita mirip sekali. Mulai dari garis wajah, sampai dengan karakter kita-keras. Tak jarang karena kesamaan itu, mereka merasa akulah yang paling bisa “menaklukkan” amang. Entahlah, meskipun sampai hari ini sepertinya memang begitu adanya. Tapi, tak sedikitpun niatku untuk membuatmu takluk dan memenuhi semua keinginanku. Tanpa mereka tahu bahwa kita juga banyak bertengkar da perang dinginnya. Tapi kita selalu sadar bahwa riak-riak amarah itu tak pernah punya alasan benci. Sebaliknya itu justru tanda kita saling mencintai.

Mang, sejak kepergian Opung, tak seorang pun bisa menggantikannya sebagai teman. Maaf karena sejak itu pernah terbesit untuk pergi menjauh. Tapi amang benar, kita gak bisa saling berjauhan. Cukuplah 2 tahun di tanah orang membuat sesak yang perih. Tapi kerana itu kita sadar betapa rindu selalu menjadi prajurit paling gagah di perang dingin kita.

Kini, 26 tahun sudah amang membesarkan dan mendidik. Saatnya sudah tiba. Kelak akan ada yang menggantikan semua tanggung jawab dan kewajiban amang atas ku. Karena itu harus ada yang kita sepakati. Boleh jadi ia adalah orang yang tak seperti bayangan amang, dan tak memenuhi kriteria yang amang inginkan. Tapi, amang bisa yakin bahwa dia bisa ambil ahli tugas amang. Entah bagaimana caranya, tapi itu pasti terjadi. Tak seorang pun yang mampu menjadi seperti amang. Maka mengharapkan ada orang yang persis melakukan apa yang amang lakukan itu mustahil sekali.

Dia orang asing, yang baru akan belajar memahami keluarga kita. Bahkan untuk memahami anak bontot kesayangan amang, barangkali dia harus berusaha keras. Dia boleh jadi memiliki suku, adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda dengan kita. Maka dia butuh pengertian dan pemakluman. Bukankah kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita dilahirkan, dari suku apa kita berasal? Maka itu tak akan pernah jadi masalah, bukan? Pun dengan kesempatan memiliki pendidikan boleh jadi berbeda dengan kita. Tapi kita selalu sepakat kan, bahwa pendidikan tak selalu menjamin seseorang memiliki akhlak yang baik. Karena itu cukuplah akhlak yang baik menjadi kriteria utama untuknya.

Kita perlu memiliki banyak pengertian dan pemakluman kelak, Mang. Dia bukan siapa-siapa, tapi dia sanggup mengemban tanggungjawab menjaga dan membahagiakan anak bontot amang ini. Memastikan tak setetes air matapun mengalir karena kecewa. Dia bukan siapa-siapa, tapi dia rela mengurangi perhatiannya atas keluarganya, demi anak bontot amang ini. Dia gak bisa memenuhi semua keinginan ku sperti amang, tapi dia pasti selalu bisa membuatku mengerti ada hal yang perlu dituruti dan ada hal yang perlu di abaikan. Amang, lelaki itu kelak, akan menjaga ku dan membuatku bertahan dalam keadaan apapun. Tidak hanya menikmati keberhasilannya, tapi juga bersabar dn berkesempatan menemaninya disaat-saat perjuangannya. Amang, lelaki itu kelak akan membuat ku bahagia seperti amang yang selalu memastikan setiap hari ku tanpa duka.

Terima kasih mang, karena tidak memberikan kriteria-kriteri tidak penting.


Medan, 16.04.16DAP

#SatuHariSatuSuratCinta#TujuhHariBerkirimCinta#SuratCintaKedua





never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen

Tidak ada komentar