Bagiku hanya ada dua cara mencintaimu: melawanmu atau
mengikuti semua inginmu. Tapi aku memilih mencintaimu dengan melawan, Mang.
Bukan untuk mengalahkanmu, tapi justru agar ada kenangan bahwa aku pernah
dengan sangat keras memperjuangan kehidupan kita. Aku dibentuk oleh didikan
tanganmu yang kasar, tapi aku tau kau mencintaiku. Aku hanya ingin kita
berkompromi, bahwa tidak selamanya orangtua tahu apa yang terbaik untuk
anaknya. Kadangkala, anak boleh jadi benar dalam memilih. Maka inilah
pilihanku, mencintaimu dengan melawan. Kelak, ketika aku dewasa, kenangan ini
akan muncul sebagai bingkisan termanis. Hasil dari doa-doamu tentang anak
perempuanmu yang dewasa mandiri dan penuh dedikasi mencintaimu, Mang.
Kata orang-orang kita mirip sekali. Mulai dari garis wajah,
sampai dengan karakter kita-keras. Tak jarang karena kesamaan itu, mereka
merasa akulah yang paling bisa “menaklukkan” amang. Entahlah, meskipun sampai
hari ini sepertinya memang begitu adanya. Tapi, tak sedikitpun niatku untuk
membuatmu takluk dan memenuhi semua keinginanku. Tanpa mereka tahu bahwa kita
juga banyak bertengkar da perang dinginnya. Tapi kita selalu sadar bahwa
riak-riak amarah itu tak pernah punya alasan benci. Sebaliknya itu justru tanda
kita saling mencintai.
Mang, sejak kepergian Opung, tak seorang pun bisa menggantikannya
sebagai teman. Maaf karena sejak itu pernah terbesit untuk pergi menjauh. Tapi
amang benar, kita gak bisa saling berjauhan. Cukuplah 2 tahun di tanah orang
membuat sesak yang perih. Tapi kerana itu kita sadar betapa rindu selalu
menjadi prajurit paling gagah di perang dingin kita.
Kini, 26 tahun sudah amang membesarkan dan mendidik. Saatnya
sudah tiba. Kelak akan ada yang menggantikan semua tanggung jawab dan kewajiban
amang atas ku. Karena itu harus ada yang kita sepakati. Boleh jadi ia adalah
orang yang tak seperti bayangan amang, dan tak memenuhi kriteria yang amang
inginkan. Tapi, amang bisa yakin bahwa dia bisa ambil ahli tugas amang. Entah
bagaimana caranya, tapi itu pasti terjadi. Tak seorang pun yang mampu menjadi
seperti amang. Maka mengharapkan ada orang yang persis melakukan apa yang amang
lakukan itu mustahil sekali.
Dia orang asing, yang baru akan belajar memahami keluarga
kita. Bahkan untuk memahami anak bontot kesayangan amang, barangkali dia harus
berusaha keras. Dia boleh jadi memiliki suku, adat istiadat dan kebiasaan yang
berbeda dengan kita. Maka dia butuh pengertian dan pemakluman. Bukankah kita
tak bisa memilih dari keluarga mana kita dilahirkan, dari suku apa kita
berasal? Maka itu tak akan pernah jadi masalah, bukan? Pun dengan kesempatan
memiliki pendidikan boleh jadi berbeda dengan kita. Tapi kita selalu sepakat kan,
bahwa pendidikan tak selalu menjamin seseorang memiliki akhlak yang baik. Karena
itu cukuplah akhlak yang baik menjadi kriteria utama untuknya.
Kita perlu memiliki banyak pengertian dan pemakluman kelak,
Mang. Dia bukan siapa-siapa, tapi dia sanggup mengemban tanggungjawab menjaga
dan membahagiakan anak bontot amang ini. Memastikan tak setetes air matapun
mengalir karena kecewa. Dia bukan siapa-siapa, tapi dia rela mengurangi
perhatiannya atas keluarganya, demi anak bontot amang ini. Dia gak bisa
memenuhi semua keinginan ku sperti amang, tapi dia pasti selalu bisa membuatku
mengerti ada hal yang perlu dituruti dan ada hal yang perlu di abaikan. Amang,
lelaki itu kelak, akan menjaga ku dan membuatku bertahan dalam keadaan apapun.
Tidak hanya menikmati keberhasilannya, tapi juga bersabar dn berkesempatan
menemaninya disaat-saat perjuangannya. Amang, lelaki itu kelak akan membuat ku
bahagia seperti amang yang selalu memastikan setiap hari ku tanpa duka.
Terima kasih mang, karena tidak memberikan kriteria-kriteri tidak penting.
Medan, 16.04.16DAP
#SatuHariSatuSuratCinta#TujuhHariBerkirimCinta#SuratCintaKedua
never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen