Salah
satu tugas seorang pengajar yang tidak saya suka adalah memberikan ujian. Entah
kenapa saya termasuk yang tidak suka menguji orang lain. Apalagi setingkat
mahasiswa. Satu waktu ketika masih di Semarang, saya pernah menyampaikan
kegalauan ini kepada Dosen pembimbing saya. Jawaban menyakitkan justru yang
saya terima. “Kalau gitu gak usah jadi guru kamu Del!” Sakitnya tuh (tidak
hanya) di sini, tapi di mana-mana. Diskusi singkat itu berakhir. Kalian tentu
tahu peraturan perundang-undangan Guru/Dosen kan: Pasal 1, Guru/Dosen tak
pernah salah. Pasal 2, jika Guru/Dosen salah, kembali ke pasal 1. Maka stop
sampai disitu.
Tapi, pemahaman baik itu kemudian perlahan datang.
Ingatlah ini sebagai motivasi bagi kalian, teman-teman yang akan menghadapi
ujian. Di dunia ini, manusia hidup penuh persaingan, bukan untuk mengalahkan
orang lain, tapi justru untuk menaklukan diri sendiri. Nak, jika kalian sedang
mengikuti ujian, maknanya bukan untuk mengejar nilai, atau mengalahkan
teman-teman sekelas, atau membuktikan pada Dosen bahwa kalian bisa memiliki
nilai terbaik, bukan. Kalian ujian, demi memenuhi kriteria manusia pembelajar.
Manusia pembelajar itu perlu mengetahui seberapa jauh sudah ia memahami apa-apa
yang sudah ia pelajari.
Bolehkan mengejar nilai? Tentu. Raihlah nilai setinggi
mungkin. Tapi apakah itu penting? Tidak. Hal yang jauh lebih penting adalah kau
tidak berhenti belajar, bahkan ketika kau malu sekali dengan nilaimu sendiri,
kau bergegas mengulangi pross belajarmu. Punya prestasi terbaik di kampus,
apakah perlu? Tentu. Berprestasilah sebanyak-banyaknya di akademikmu. Tapi
untuk dengan baik melewati kehidupan yang keras ini, kalian lebih membutuhkan
hati yang lapang, hati yang luas, untuk setiap kehidupan yang akan dihadapi
kelak. Menjadi pribadi-pribadi yang dibanggakan kedua orang tuamu, karena kau
punya akhlak yang baik.
never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen