Hari ini, ingatan
melesat mundur kebeberapa tahun silam. Momen ketika mengisi pesantren kilat
Ramadhan salah satu SMA di Langkat, Sumatera Utara. Waktu itu, barangkali panas
matahari begitu menusuk, atau rasa lapar begitu perih. Salah seorang ustadz
baru saja 2 jam memberikan materi. Selama materi diberikan, para peserta mulai
tidak konsentrasi. Beberapa ada yang sibuk mengobrol dengan teman sebelahnya,
beberapa ada yang sibuk dengan coret-coret dibukunya, beberapa lagi terlihat
mulai sulit membuka mata menahan ngantuk. Peserta mayoritas tidak
memperhatikan, suasana riuh sekali. Bahkan beberapa kali pemateri sempat
menegur agar peserta tenang. Apa yang salah? Apa yang harus dilakukan? Ini baru
setengah hari, masih ada beberapa materi yang harus diberikan, lantas
bagaimana?
Entah ada momen apa
saat itu, jika tidak salah, waktu sholat Jum’at. Sehingga yang diruangan hanya
ada santri putri. Kebetulan Pembina Akhwat yang diberikan waktu mengisi waktu
Jeda. Tapi, sepertinya ada santri laki-laki juga. Ah, abaikan. Itu bukan poin
penting yang akan diceritakan.
Waktu Jeda itu
kemudian saya yang isi. Sebenarnya ingin memberikan materi ke-muslimah-an. Tapi
last minute semua berubah. Saya lantas mengisi tentang bagaimana membuka hati
untuk hal baru, untuk ilmu baru, untuk pengetahuan baru. Saya meminta panitia
menyediakan : dua gelas kosong dan 1 baskom berisi air. Simulai di mulai. Saya
membalikkan sebuah gelas kosong di atas meja. Para santri mulai penasaran, apa
yang akan saya lakukan. Pupil mata mereka membesar, beberapa santri yang duduk
dibelakang bahkan setengah berdiri dari duduknya, menegakkan leher maksimal
agar bisa melihat simulasi di depan. Saya ambil segelas air dari baskom lantas
menuangkannya ke atas gelas yang sedang terbalik di atas meja. Bisa ditebak
pasti apa yang terjadi. Air tumpah ke mana-mana. Saya menuangkan air 2-3 gelas
waktu itu. Meja dan lantai basah. Para santri terdiam melihat kelas yang mulai
becek dan kotor. Beberapa panitia yang melihat dari sudut pintu juga terdiam.
Simulasi gelas
terbalik yang disiram air itu adalah visualisasi dari hati dan pikiran kita
yang merasa penuh sehinggat tertutup. Bagaimana air akan masuk ke dalam gelas
jika posisinya penuh sampai tertutup (terbalik). Maka bagaimana kita bisa
menerima ilmu ketika hati dan pikiran kita merasa sudha penuh ilmunya, merasa
sudah tidak perlu mengisi ilmu lagi. Merasa penuh serta menutup hati dan
pikiran dari hal baru, atau dari ilmu baru boleh jadi disebabkan beberapa hal :
merasa lebih pintar, merasa sepele dengan si guru baru, merasa tidak suka
dengan si Guru, atau lenyapnya respek dalam diri kita. Keempat hal ini sama
fatalnya, sama-sama membuat kita tidak bisa maju dan memiliki wawasan yang
luas. Kita akan menjadi pribadi yang sulit menerima pendapat orang lain.
Kesulitan menerima pendapat orang lain membuat kita sulit menerima perbedaan.
Efeknya? Tentu kita bisa lelah karena meskipun telah berjalan jauh, melewati
perjalan panjang, tapi tak pernah berpindah tempat, tak pernah menemukan
rumah-rumah baru, tak pernah menjumpai pemandang-pemandangan baru. Kita tak
pernah tahu bahwa jauh di sana boleh jadi ada suasana yang berbeda dari suasana
yang pernah kita rasakan sebelumnya.
Simulasi belum
berakhir. Saya kemudian membalikkan posisi gelas seperti biasa, dan menuangkan
segelas air ke atasnya. Air masuk tepat ke dalam gelas. Tidak ada setetespun
air yang tumpah. Begitu juga dengan hati dan pikiran yang terbuka, akan selalu
mudah menerima ilmu baru, menerima orang baru, menerima suasana baru. Menjadi
pribadi yang fleksibel, tidak kaku, tidak merasa paling pintar, tidak merasa
lebih tinggi, tidak mudah menyepelekan orang lain, menghargai setiap pendapat,
menghargai setiap pilihan, menghargai karya orang lain. Respek.
Merasa diri sudah
memiliki ilmu yang banyak, membuat kita menutup diri dari ilmu yang baru,
siapapun orangnya, sehebat appaun orang yang menyampaikannya. Bahkan, jika ilmu
yang disampaikannya sudah pernah kita pelajari, bukannya punya pilihan untuk
diam lantas menyimak, menerima dan mengiyakan? Respek. Percayalah, tak ada
ruginya bagi kita ketika kita menghargai hal-hal baru yang dibawa oleh orang
lain. Pernah dengar kalimat bijak, “Dengarlah nasihat meski keluar dari mulut
seorang munafik?” atau pernah dengar “Lihat apa yang disampaikannya, jangan
lihat orangnya”. Maka betapapun kita tidak suka dengan orangnya, selama yang ia
bawa adalah kebaikan maka terimalah dengan lapang dada.
Hayoo… Mau jadi Gelas
penuh yang akhirnya tertutup, jadi mau dikasih ilmu sehebat apapun tetap gak
akan bisa masuk?
Atau mau jadi gelas
kosong yang selalu merasa butuh ilmu baru…mau belajar terus…yang hasilnya
adalah rasa respek ke orang lain. Menerima ilmu baru, menerima orag baru,
menerima pendapat baru, menerima perbedaan. Percayalah, bahwa semua itu akan
memberikan pemahaman yang luas dan mendalam tentang kelapangan hati.
never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen