Gelas Penuh VS Gelas Kosong

0 Comments
Hari ini, ingatan melesat mundur kebeberapa tahun silam. Momen ketika mengisi pesantren kilat Ramadhan salah satu SMA di Langkat, Sumatera Utara. Waktu itu, barangkali panas matahari begitu menusuk, atau rasa lapar begitu perih. Salah seorang ustadz baru saja 2 jam memberikan materi. Selama materi diberikan, para peserta mulai tidak konsentrasi. Beberapa ada yang sibuk mengobrol dengan teman sebelahnya, beberapa ada yang sibuk dengan coret-coret dibukunya, beberapa lagi terlihat mulai sulit membuka mata menahan ngantuk. Peserta mayoritas tidak memperhatikan, suasana riuh sekali. Bahkan beberapa kali pemateri sempat menegur agar peserta tenang. Apa yang salah? Apa yang harus dilakukan? Ini baru setengah hari, masih ada beberapa materi yang harus diberikan, lantas bagaimana?

Entah ada momen apa saat itu, jika tidak salah, waktu sholat Jum’at. Sehingga yang diruangan hanya ada santri putri. Kebetulan Pembina Akhwat yang diberikan waktu mengisi waktu Jeda. Tapi, sepertinya ada santri laki-laki juga. Ah, abaikan. Itu bukan poin penting yang akan diceritakan.

Waktu Jeda itu kemudian saya yang isi. Sebenarnya ingin memberikan materi ke-muslimah-an. Tapi last minute semua berubah. Saya lantas mengisi tentang bagaimana membuka hati untuk hal baru, untuk ilmu baru, untuk pengetahuan baru. Saya meminta panitia menyediakan : dua gelas kosong dan 1 baskom berisi air. Simulai di mulai. Saya membalikkan sebuah gelas kosong di atas meja. Para santri mulai penasaran, apa yang akan saya lakukan. Pupil mata mereka membesar, beberapa santri yang duduk dibelakang bahkan setengah berdiri dari duduknya, menegakkan leher maksimal agar bisa melihat simulasi di depan. Saya ambil segelas air dari baskom lantas menuangkannya ke atas gelas yang sedang terbalik di atas meja. Bisa ditebak pasti apa yang terjadi. Air tumpah ke mana-mana. Saya menuangkan air 2-3 gelas waktu itu. Meja dan lantai basah. Para santri terdiam melihat kelas yang mulai becek dan kotor. Beberapa panitia yang melihat dari sudut pintu juga terdiam.

Simulasi gelas terbalik yang disiram air itu adalah visualisasi dari hati dan pikiran kita yang merasa penuh sehinggat tertutup. Bagaimana air akan masuk ke dalam gelas jika posisinya penuh sampai tertutup (terbalik). Maka bagaimana kita bisa menerima ilmu ketika hati dan pikiran kita merasa sudha penuh ilmunya, merasa sudah tidak perlu mengisi ilmu lagi. Merasa penuh serta menutup hati dan pikiran dari hal baru, atau dari ilmu baru boleh jadi disebabkan beberapa hal : merasa lebih pintar, merasa sepele dengan si guru baru, merasa tidak suka dengan si Guru, atau lenyapnya respek dalam diri kita. Keempat hal ini sama fatalnya, sama-sama membuat kita tidak bisa maju dan memiliki wawasan yang luas. Kita akan menjadi pribadi yang sulit menerima pendapat orang lain. Kesulitan menerima pendapat orang lain membuat kita sulit menerima perbedaan. Efeknya? Tentu kita bisa lelah karena meskipun telah berjalan jauh, melewati perjalan panjang, tapi tak pernah berpindah tempat, tak pernah menemukan rumah-rumah baru, tak pernah menjumpai pemandang-pemandangan baru. Kita tak pernah tahu bahwa jauh di sana boleh jadi ada suasana yang berbeda dari suasana yang pernah kita rasakan sebelumnya.

Simulasi belum berakhir. Saya kemudian membalikkan posisi gelas seperti biasa, dan menuangkan segelas air ke atasnya. Air masuk tepat ke dalam gelas. Tidak ada setetespun air yang tumpah. Begitu juga dengan hati dan pikiran yang terbuka, akan selalu mudah menerima ilmu baru, menerima orang baru, menerima suasana baru. Menjadi pribadi yang fleksibel, tidak kaku, tidak merasa paling pintar, tidak merasa lebih tinggi, tidak mudah menyepelekan orang lain, menghargai setiap pendapat, menghargai setiap pilihan, menghargai karya orang lain. Respek.

Merasa diri sudah memiliki ilmu yang banyak, membuat kita menutup diri dari ilmu yang baru, siapapun orangnya, sehebat appaun orang yang menyampaikannya. Bahkan, jika ilmu yang disampaikannya sudah pernah kita pelajari, bukannya punya pilihan untuk diam lantas menyimak, menerima dan mengiyakan? Respek. Percayalah, tak ada ruginya bagi kita ketika kita menghargai hal-hal baru yang dibawa oleh orang lain. Pernah dengar kalimat bijak, “Dengarlah nasihat meski keluar dari mulut seorang munafik?” atau pernah dengar “Lihat apa yang disampaikannya, jangan lihat orangnya”. Maka betapapun kita tidak suka dengan orangnya, selama yang ia bawa adalah kebaikan maka terimalah dengan lapang dada.

Hayoo… Mau jadi Gelas penuh yang akhirnya tertutup, jadi mau dikasih ilmu sehebat apapun tetap gak akan bisa masuk?

Atau mau jadi gelas kosong yang selalu merasa butuh ilmu baru…mau belajar terus…yang hasilnya adalah rasa respek ke orang lain. Menerima ilmu baru, menerima orag baru, menerima pendapat baru, menerima perbedaan. Percayalah, bahwa semua itu akan memberikan pemahaman yang luas dan mendalam tentang kelapangan hati.


never ever comment on a woman's rear end. Never use the words 'large' or 'size' with 'rear end.' Never. Avoid the area altogether. Trust me. 😉
- Tim Allen

Tidak ada komentar